Jumat, 16 Februari 2018

Sastra Hijau

EKOLOGI SASTRA
Oleh
Jein Palilati

Lingkungan memang menjadi bagian yang menarik untuk dimaknai kehadirannya dalam karya sastra. Istilah singkatnya ialah sastra tak pernah lepas dari lingkungan. Sastra dan lingkungan menjadi dua bagian yang tak terpisahkan. Sebagai contoh ketika Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen berjudul “Telinga”, tentunya sangat penting untuk memahami konflik peperangan yang terjadi di Indonesia bagian Timur. Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi dari kehidupan sekitar yang diamati oleh pengarang.
            Lingkungan adalah poin penting yang dapat memengaruhi karya sastra. Lingkungan yang mengelilingi sastrawan jelas menjadi tumpuan imajinatifnya. Sastrawan bebas menghadirkan fenomena lingkungan dalam karyanya. Pada saat lingkungan sedang mengalami kerusakan, kebakaran hutan, lingkungan diterjang banjir, lingkungan diselimuti lahar dingin, lingkungan yang kumuh, dan lain sebagainya seringkali memicu lahirnya karya sastra yang memuat persoalan demikian. Dengan kata lain, sastra seringkali hadir mengikuti suara lingkungan. Atas dasar ini, diperlukan sebuah perspektif memahami sastra dengan melihat fenomena-fenomena yang dialami lingkungan dalam karya sastra.
Sastra membutuhkan sebuah penafsiran melalui kacamata lingkungan. Melalui kacamata lingkungan, seorang peneliti sastra dapat membaca, menyelidiki, memahami berbagai krisis lingkungan yang diangkat dalam karya sastra. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat membawa peneliti sastra untuk lebih menghargai dan melestarikan lingkungan sekitarnya. Masalah lingkungan hidup yang direpresentasikan dalam karya sastra dapat dibedah menggunakan pisau ekologi sastra.
Ekologi sastra merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir melalui persilangan antara ilmu ekologi dan ilmu sastra. Ekologi sastra tergolong sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih sangat muda, karena ekologi sastra lahir paling akhir dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain pada akhir abad ke 20. Menurut Endraswara (2016: 49)  ekologi sastra merupakan sebuah disiplin ilmu sastra yang mulai digalakkan pada tahun 1990-an, meskipun akarnya mulai 1970-an. Setya Yuwana Sudikan dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Ekologi Sastra” menjelaskan bahwa di Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada awal abad 21 (Sudikan, 2016: x). Sebetulnya ihwal ekologi sastra sudah ada sejak Plato menerangkan bahwa karya sastra itu semakin dekat dengan alam maka akan semakin menarik. Namun pernyataan Plato ditentang oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles (dalam Endraswara 2016: 36), semakin jauh dari realitas alam, sastra  itu semakin bagus. Hemat penulis menarik simpulan dari beberapa pendapat tersebut bahwa ekologi sastra sejatinya sudah mulai diarencanakan kelahirannya oleh Plato, namun dikarenakan pendapatnya ditentang oleh Aristoteles, maka ihwal kelahiran ekologi sastra pun menjadi tertunda. Kemudian pada abad ke 20 ekologi sastra benar-benar diwujudkan menjadi sebuah disiplin ilmu dalam sastra oleh para peneliti sastra yang peduli pada persoalan lingkungan.
Ekologi sastra adalah studi tentang hubungan antara karya sastra dan lingkungan hidup yang diangkat dalam karya tersebut. Sejalan dengan Endraswara (2016: 17-18) bahwa ekologi sastra adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perspektif sastra. Dengan kajian ekologi sastra, akan dapat terungkap bagaimana peran sastra dalam memanusiakan lingkungan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kehadiran ekologi sastra bertujuan untuk menunjukkan kepedulian sastra terhadap lingkungan hidup, serta berperan untuk memecahkan masalah ekologi yang direfleksikan dalam karya sastra.
Teori-teori dalam kajian ekologi sastra di antaranya ekofeminsme, ekoantropologi sastra, etnoekologi sastra, dan ekokritik sastra. Ekofeminsme merupakan cabang dari ekologi sastra yang tentu saja berkaitan dengan permasalahan perempuan dan lingkungan hidup, yakni permasalahan lingkungan dan ketidak adilan gender. Sudikan (2016: 152) menjelaskan bahwa para ekofeminis sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan dan perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan dan lingkungan melainkan melihat budaya perempuan yang dekat dengan alam sebaga budaya yang lebih baik dari budaya laki-laki. Maksudnya ialah model lingkungan hidup yang mengadopsi nilai-nilai feminis akan lebih baik bagi sistem lingkungan hidup.
Ekoantropologi sastra adalah sebuah teori yang menggabungkan antara ekologi, budaya, dan sastra dalam fokus penelitiannya. Penelitian ekoantropologi sastra akan membuka wawasan sastra interdisipliner. Sastra dapat memuat refleksi lingkungan dan budaya di sekitar pengarangnya. Menurut Endraswara (2016: 6) manusia, sastra, dan lingkungan selalu terkait, sulit dipisahkan. Namun ketika ekologi itu dititik beratkan aspek budayanya, lebih bagus melalui antropologi sastra. Ketiganya saling mengisi satu sama lain.
Etnoekologi sastra merupakan teori sastra yang berupaya memahami lingkungan suatu etnis yang terdapat dalam sastra. Etnoekologi sastra membutuhkan pemahaman etnis tertentu yang diangkat dalam sastra dan juga membutuhkan penguasaan ekologi terhadap suatu etnis. Hal ini sejalan dengan pendapat Endraswara (2016: 94) bahwa etnoekologi sastra adalah kajian yang berupaya melukiskan lingkungan sebagaimana lingkungan tersebut dipahami oleh masyarakat suatu etnis. Sebab lingkungan alam yang secara objektif sama dapat dilihat dan disiasati berbeda oleh masyarakat etnis yang berbeda latar belakang sosial dan kebudayaannya.
Ekokritik sastra merupakan sebuah bentuk dan ekspresi penilaian sastra berwawasan lingkungan. Ekokritik sastra dapat menyalurkan tanggapan manusia terhadap lingkungannya. Endraswara (2016: 34) menjelaskan bahwa tugas penelitian ekokritik sastra adalah membongkar makna lingkungan dalam sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Glotfelty dan Fromm (dalam Sudikan 2016: 9) bahwa ekokritik bertujuan untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra.
Kesadaran manusia terhadap lingkungan amatlah penting. Adanya kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan, maka manusia tidak akan mengeksploitasinya dengan semena-mena. Karya sastra yang menghadirkan unsur ekologi di dalamnya dapat memberi kesadaran tentang lingkungan yang dapat dibaca semua pihak dengan bahasa indah dan lebih akrab dengan pembacanya. Manusia sebagai pemakai lingkungan dan sebagai satu-satunya makhluk yang diberi kelebihan dengan akalnya harus bisa memberi kontribusi agar lingkungan yang sehat dapat dipakai selamanya. Oleh sebab itu, ekologi sastra dihadirkan sebagai sebuah bentuk perhatian para peneliti sastra dan peneliti lingkungan terhadap lingkungan hidup. Hemat penulis bahwa ekologi sastra sendiri merupakan bentuk propaganda pelestarian lingkungan melalui karya sastra. Ia hadir sebagai kritik terhadap manusia yang sering menganggap bahwa lingkungan hanyalah benda mati sehingga seringkali manusia secara sembarangan mengeksploitasi lingkungan.
Kehadiran ekologi sastra merupakan konsekuensi yang logis dari keberadaan makhluk hidup dan kondisi lingkungan yang makin hari makin membutuhkan perhatian. Ekologi sastra membantu menyadarkan manusia tentang pentingnya pelestarian lingkungan, bahwa lingkungan yang ditempati oleh manusia saat ini perlu diwariskan pada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, seorang peneliti ekologi sastra diharapkan tidak hanya mampu menerapkan teori ini dalam sebuah penelitian sastra, melainkan dapat pula mengaplikasikannya bagi keselamatan lingkungan sekitarnya. Seorang peneliti sastra perlu membangun kesadaran terhadap kondisi apapun yang terjadi pada lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapan. Yogyakarta: CAPS.
Endraswara, Suwardi. 2016. Sastra Ekologis. Yogyakarta: CAPS.

Sudikan, Setya Yuwana. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang.

Mismatch Guru di Indonesia

Ketidaksesuaian Latar Belakang Akademis Guru 
dengan Bidang yang Diajarkannya

Oleh: Jein Palilati


Pendidikan adalah penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pengembangan bangsa. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Mungkin sebagian besar lebih tepat dikatakan tidak layak disebut pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. 
            Masalah pendidikan di Indonesia tidak hanya seputar masalah kemiskinan, pendidikan yang  mahal, sarana yang kurang, minimnya tenaga pengajar, dan masalah kesejahteraan guru. Banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau tidak sesuai dengan disiplin ilmunya atau lebih popular disebut dengan “Guru Mismatch” merupakan salah satu faktor yang memicu timbulnya generasi-generasi yang tidak sesuai dengan harapan untuk membangun Indonesia menjadi sejahtera.
Ketika  semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru pasti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut  persoalan pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak dapat disangkal karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru.  Guru sebagai pelaksana pendidikan tentunya sangat berperan dalam peningkatan mutu pendidikan. Diperlukan guru yang profesional yang mampu mendidik anak bangsa menjadi lebih berkualitas. Latar belakang pendidikan guru hendaknya berkolerasi positif dengan kualitas pendidikannya.
Namun realita yang ada saat ini masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Terbukti dengan banyaknya guru yang mengajar dua atau lebih mata pelajaran yang berbeda dan tidak sesuai dengan keahliannya. Padahal kesesuaian latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diajarkan merupakan salah satu syarat bagi guru untuk mengajukan sertifikasi. Dalam hal ini, seorang guru dituntut untuk mengajar sesuai dengan bidang keahliannya.
Khusus di pendidikan madrasah, kondisi mismatch ini lebih berat dibanding pendidikan umum (sekolah). Hal ini karena pendidikan di madrasah berbasis pondok pesantren dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, kebanyakan guru yang direkrut madrasah adalah lulusan pendidikan agama Islam. Ketika guru tersebut masuk dalam sistem pendidikan nasional yang memasukkan mata pelajaran umum, maka madrasah tersebut memanfaatkan guru berlatar belakang pendidikan agama Islam yang dimilikinya untuk mengajar mata pelajaran-mata pelajaran lain, walaupun bukan keahliannya (Hayat, 2010: 53).
Lebih lanjut Hayat (2010: 53) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya mismatch di antaranya: pertama, tuntutan perubahan kurikulum yang sangat cepat berkembang, yang tidak diimbangi oleh suplai tenaga guru dari LPTK; kedua, khusus pada madrasah, pergerakan perubahan dari posisi madrasah berbasis pondok pesantren yang awalnya murni sebagai pendidikan keagamaan kemudian ditambahkan mata pelajaran umum, tidak dibarengi dengan ketersediaan guru bidang studi tersebut. Selain itu Ditjen Dikti (dalam Albatani, 2014:1) menyebutkan bahwa problema guru mismatch ini terjadi karena munculnya bidang-bidang baru dari kurikulum tidak cepat disuplai oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, penyesuaian diri dari LPTK tidak cepat dalam merespon perubahan kurikulum.
            Seringnya kurikulum dirubah diperkirakan juga menjadi penyebab guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan (Albatani, 2014).           Perubahan kurikulum selalu diikuti oleh hilangnya mata pelajaran tertentu dan munculnya mata pelajaran baru. Ketika mata pelajaran baru muncul dan LPTK belum menyiapkan guru untuk mata pelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya untuk memberi tugas kepada guru yang mata pelajarannya hilang. Dengan demikian ada banyak faktor penyebab munculnya guru-guru mismatch.
Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya di Indonesia ini bukan kekurangan guru yang terjadi melainkan pendistribusian  guru yang tidak efektif. Beberapa guru mempunyai kelas yang sangat kecil dan yang lainnya ada guru yang mempunyai kelas yang terlalu banyak siswa, dan kedua-duanya tidak efektif dan efisien. Umumnya jumlah guru pada daerah perkotaan cukup bahkan pada beberapa sekolah jumlahnya justru berlebih. Terkonsentrasinya guru di perkotaan menyebabkan sekolah di pedesaan mengalami kekurangan guru.
Kenyataan sekarang ini, rasio guru dan siswa di Indonesia 1:14, berarti sudah ideal dibandingkan dengan rasio guru di Negara maju seperti Korea Selatan 1:30, Jepang 1:20, dan Malaysia 1:25 (data dipelroleh dari Ditjen Dikti dalam Albatani, 2014). Namun, karena pendistribusian guru yang tidak merata mengakibatkan menumpuknya guru-guru di sekolah perkotaan, sedangkan di sekolah yang ada di pedesaan masih kekurangan guru. 
            Persoalan distribusi guru hampir terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, pada daerah yang kekurangan guru, harus mengajarkan beberapa mata pelajaran dan harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebaliknya, pada daerah yang kelebihan guru, pemberlakuan jumlah jam mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikat pendidik tidak dapat terpenuhi.
Masalah penenempatan guru khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincangan. Suatu sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedangkan guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga pada sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi di luar kewenangannya. Gejala tersebut membawa ketidak efisienan dalam memfungsikan tenaga kerja guru. Meskipun ketersediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, karena tidak ada insentif yang menarik, demikian pula sulitnya menempatkan guru wanita di tempat-tempat terpencil.
Masalah mengembangkan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembangan tenaga pelaksana di lapangan (yang berupa penyuluhan, latihan, lokakarya, penyebaran buku panduan) sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum baru dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.




DAFTAR RUJUKAN

Dharma, Surya. 2012. Menggenjot Mutu PTK Dikmen – Majalah : PTK Dikmen Media Informasi dan Komunikasi PTK Pendidikan Menengah. Jakarta: Direktorat Pembinaan – Pendidik dan Tenaga Kependidikan –  Pendidikan Menengah – Ditjen Pendidikan Menengah –  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Hayat, Bachrul. 2010. Tantangan Peningkatan Mutu Guru – Majalah: Ikhlas Beramal, No. 63 tahun XIII. Jakarta.
Mulyasa. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rujukan Lain:
Albatani, Muhsin. 2014. http://muchsinal-mancaki.blogspot.com/2014/02/guru-mismatch.html?m=1 (diakses pada 17  Desember 2015).
Setyawan, Heru. 2014. http://zonainfosemua.blogspot.com/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html (diakses tanggal 17 Desember 2015).

Seks dan Usia dalam Sosiolinguistik

SEKS DAN USIA
Oleh
Jein Palilati

Bahasa merupakan sistem tanda yang memuat istilah, konsep, dan label-label yang bersifat diferensiasi. Bahasa juga sangat berpengaruh pada persepsi dan cara pandang kita terhadap suatu hal. Bahasa yang kita gunakan sehari-hari tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa juga merupakan sarana sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Bahkan bahasa berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang menggunakannya, melalui sugesti yang diberikan oleh kata tertentu akan mempunyai kekuatan tersembunyi yang berguna untuk melastarikan nilai dalam masyarakat dan mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi sosial berdasarkan keyakinan melalui bahasa.
Pemakaian bahasa (language use) dalam sosiolinguistik tidak hanya sebagai gejala individual, tetapi juga sebagai gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional. Faktor sosial misalnya: status sosial, tingkat pendidikan, usia, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Faktor situasional misalnya: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
 Dalam Sosiolinguistik dikenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang terjadi pada ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam masyarakat. Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi jenis kelamin (seks), akan didapat secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993). Begitu pula jika bahasa ditinjau dari aspek usia pemakainya. Usia secara langsung membagi masyarakat menjadi beberapa golongan, yaitu anak-anak, remaja, dan dewasa. Menurut Chaer dan Agustina (2004), berdasarkan usia, dapat dilihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia (lanjut uisa). Pembahasan mengenai ragam bahasa berdasarkan seks dan usia akan diuraikan sebagai berikut.

A.      Bahasa Berdasarkan Seks (Jenis Kelamin)
Sebelum membahas bahasa dari segi seks (jenis kelamin), diperlukan sebuah pemahaman mengenai seks dan gender. Dalam masyarakat sering terjadi ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang istilah gender dan jenis kelamin, kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki perbedaan makna. Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender” adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Seks (jenis kelamin) adalah sesuatu yang bersifat biologis dan dibawa sejak lahir, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Salah satu aspek gender melahirkan suatu peran gender (general) yang merupakan suatu harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berpikir, bertingkah laku, dan berperasaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suryakusuma (2012: 65) bahwa seks adalah kategori biologis (jantan dan betina), dan gender adalah kategori sosial (maskulin dan feminis). Dengan kata lain, seks (jenis kelamin) adalah sebuah kodrat sementara gender tidak bisa disebut sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan karena gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
 Jenis kelamin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi bahasa di dalam suatu masyarakat dimanapun di seluruh dunia. Sumarsono (2002)  menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan, di antaranya adalah faktor suara yang artinya bunyi (fon) yang dihasilkan karena bergetarnya pita suara dalam laring dan intonasi yaitu pola perubahan nada yang dihasilkan pembicaraan pada waktu mengucapkan ujaran atau bagian-bagiannya. Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan.
Perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda dan kemampuan berbeda. Perbedaan kemampuan verbal sering disebabkan oleh faktor gerak anggota badan ekspresi wajah, suara, dan intonasi. Perbedaaan bahasa yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dalam hal ini bukan berarti bahwa mereka menggunakan dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah. Bahasa laki-laki dan perempuan tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa, lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Perempuan cenderung lebih mempertahankan bahasa sedangkan laki-laki bersifat inovatisi dan pembaharuan.
Kebanyakan dari kita dapat membedakan suara antara laki-laki dan perempuan walaupun harus dengan mata tertutup. Hal ini karena secara umum bisa dikatakan volume suara laki-laki relatif lebih besar daripada perempuan. Bahkan dalam dunia seni suara, sudah dikenal golongan yang membedakan antara suara laki-laki dan perempuan. Pada perempuan misalnya ada suara alto dan sopra, sedangkan  pada laki-laki ada suara tenor dan bas. Ini semua terjadi karena berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara yang sedikit banyak berbeda pada laki-laki dan perempuan, sayangnya dalam makalah ini penulis tidak membahas secara terperinci mengenai organ-organ tubuh penghasil suara tersebut. Berhubungan dengan intonasi, misalnya intonasi  “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada perempuan. Dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan istilah “suara manja” yang khas pada perempuan dan hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sedangkan gaya bahasa seperti ini sangat jarang terjadi pada laki-laki.
Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih banyak menggunakan kata-kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja, irasional, dan berusaha mencapai norma standar dan standar ini dibuat kelompok lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada akhir kalimat dalam ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan kurang tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan ketegasan (Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak menggunakan kalimat majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan mana yang inti (induk) dan mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979). Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993), kelompok perempuan tidak banyak menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak menggunakan intonasi dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa perempuan lebih banyak menggunakan tag questions sebagai cermin ketidaktegasannya bersikap.
Bahasa berdasarkan seks (jenis kelamin) dalam bahasa Indonesia perbedaannya memang tidak begitu jauh. Hal ini dikarenakan struktur bahasa Indonesia didesain secara fleksibel dan salah satu bukti bahwa bahasa Indonesia memang tidak begitu kaya dalam pemilihan jenis kata untuk laki-laki dan perempuan. Namun dalam beberapa bahasa di dunia seperti bahasa Jepang, penggunaan bahasa berdasarkan jenis kelamin terlihat sangat jelas. Contohnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Perempuan
Laki-laki
Ohiya 
Mizu
‘air’
Onaka
Hara
‘perut’
Oisii
Umai
‘lezat’
Taberu
Kuu
‘makan’

Beberapa tanda kebahasaan berdasarkan jenis kelamin pengguna tuturan terdapat dalam pengucapanya. Dalam bahasa Jepang, ada sebuah kata atashi yang berarti ‘saya’ hanya digunakan oleh perempuan, dan boku yang hanya digunakan oleh laki-laki, akan tetapi terdapat juga kata watakushi yang bisa digunakan oleh keduanya baik penutur laki-laki maupun perempuan
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa dilihat dari seks (jenis kelamin) penutur, dapat kita bagi atas laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak tajam perbedaannya, tetapi akan terlihat perbedaan baik yang berhubungan dengan suasana pembicaraan, topik pembicaraan, maupun pemilihan kata yang digunakan. Salah satu penelitian mengenai strategi percakapan antara laki-laki dan perempuan adalah mengenai kesantunan berbahasa. Penelitian ini dilakukan oleh Brown terhadap suku Maya di Meksiko. Dia mengetes hipotesis yang menyatakan bahwa perempuan lebih santun dari pada laki-laki; perempuan lebih sensitif berkaitan dengan kebutuhan ‘muka orang lain’. Ia menemukan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan indikator-indikator kesantunan dibandingkan kaum laki-laki, dan bahwa kaum perempuan mempunyai “strategi-strategi secara khas” mengenai kesantunan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Lakoff yang berargumen bahwa perempuan menggunakan sebuah gaya bertutur yang ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan dan kesopanan: “agaknya masuk akal untuk diprediksikan bahwa kaum perempuan secara umum akan berbicara secara formal dan lebih sopan, karena kaum perempuan secara kultural diposisikan pada status yang relatif sekunder terhadap laki-laki dan karena tingginya kadar kesopanan dimunculkan dari bawahan kepada atasan”.

B.       Bahasa Berdasarkan Usia
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri. Bahasa benar-benar dapat merefleksikan semua aspek kehidupan suatu masyarakat tutur.
Ragam bahasa ditinjau berdasarkan usia penutur bahasa yang digunakan akan berbeda-beda sesuai tingkatan usianya. Faktor usia mempengaruhi bahasa yang dipergunakan seseorang. Seperti kata pepatah yang berbunyi “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Makin tinggi usia seseorang makin banyak bahasa yang dikuasainya, baik pemahamannya dalam struktur bahasa, dan makin baik pelajarannya (Pateda, 1987).
Bahasa yang dipakai  dan dipergunkan anak yang berusia 3 tahun, 6 tahun, 9 tahun, 12 tahun. Perhatikan pula pemakaian bahasa oleh orang yang berusia 18 tahun ke atas. Meskipun pemakai bahasa tersebut tidak berpendidikan dan lingkungan pekerjaannya rendah, bahasa yang dipergunakan memperlihatkan kedewasaan.
Pemakaian bahasa tuturan yang dipakai oleh anak-anak, orang dewasa, dan juga oleh orang yang sudah lanjut usia, baik dari segi semantik, pragmatik, dan sintaksis yang dipergunakan anak-anak dan orang dewasa itu jelaslah berbeda-beda. Anak-anak lebih cenderung menggunakan bahasa yang relatif sederhana karena masih kurang penguasaan kata-kata dan masih kurang bergaul dalam masyarakat luas. Beda halnya dengan orang dewasa atau anak remaja lebih cenderug menggunakan bahasa gaul, bahasa cant, maupun bahasa waria bagi para waria dan juga penggunaan bahasanya lebih sopan walaupun masih kurang pemahaman dengan kosa kata yang dipergunakan, sehingga orang dewasa sangat berpengaruh di dalam perkembangan bahasa gaul, karena sebagian besar orang dewasa menggunakan bahasa gaul sebagai bahasa yang digunakan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-sehari.
Hal yang paling mendasari dari ciri bahasa tuturan kalau dilihat dari perbedaan umur seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua adalah penggunaan bahasa yang dilihat dari segi kesantunan berbahasa. Seseorang yang lebih muda biasanya akan menggunakan bahasa yang lebih sopan dan santun terhadap orang yang lebih tua, tetapi orang tua dapat mengatakan atau menjawab dengan berbagai cara sebagai contoh: Si muda berbicara kepada si Tua, maka yang diucapkan si Muda yaitu: “Apakah bapak sudah makan?”. Tetapi kalau si Tua yang mengatakannya, maka dapat mengatakannya dengan berbagai cara seperti:Apa sudah makan?”; “Apa anda sudah makan?”; “Apa situ sudah makan?”. Berdasarkan contoh tersebut dapatlah simpulkan bahwa si Muda menggunakan bahasa yang lebih sopan dibandingkan dengan Si Tua.
Berdasarkan relasi umur dengan perubahan bahasa, kita bisa mendapati bahasa lisan antara sesama orang tua sesama orang dewasa, sesama remaja, sesama anak-anak. Pada umunya bahasa lisan sesama orang tua lebih banyak berisi tentang ajaran hidup; sesama orang dewasa akan berkisar pada persoalan hidup; sedangkan bahasa lisan di kalangan remaja lebih banyak bersifat romantis atau persoalan yang sedang dihadapi, misalnya kuliah, ujian, dan sebagainya; sementara itu bahasa lisan pada anak-anak lebih banyak mengandung cerita tentang pengalaman dan kelucuan-kelucuan.



DAFTAR RUJUKAN

Coates, J. 1991. Women, Men, and Language: A Sociolinguistics Account of Sex Differences in Language. London: Longman.
Kramarae, C. 1981. Women and Men Speaking: Frameworks for Analysis. London: Newbury House Pub., Inc.
Kweldju, S. 1993. Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian Stereotip Seks. Warta Studi Perempuan 4(1).
Lakoff, R. 1979. Talking Like a Lady. Dalam B.J. Wishart & L.C. Reichman (ed.), Modern Sociolinguistics Issues. New York: MacMillan Pub. Co. Inc.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolingusitik. Yogyakarta: Sabda.
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks, dan Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu.

Ulasan Buku #2

Tuhan, Izinan Aku Menjadi Pelacur


Judul        : Tuhan, Izinan Aku Menjadi Pelacur
Penulis     : Muhidin M. Dahlan
Penerbit   : ScriPtaMament
Pengulas  : Jein A. Palilati (@KekinSmileAgain)


Setahun yang lalu saya menamatkan satu dari sekian bacaan “kelas berat” yang menjadi salah satu bacaan favorit saya. Novel berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” ini memang mengundang banyak kontroversi. Sebagian pembaca menilai bahwa novel ini tidak pantas dibaca, bacaan sampah, menyesatkan akidah, hanya berisi fitnah, dan berbagai kritikan lainnya. Dari judulnya, novel ini memang menggemparkan masyarakat yang mengaku menjunjung tinggi nila-nilai moral, susila, dan religius.
              Tokoh utamanya bernama Nidah Kirani. Seorang perempuan religius, amat menjaga kesuciannya. Ia seorang aktivis dakwah, membela ajaran agama Islam yang diyakininya. Kiran menghabiskan setiap malamnya dengan membaca ayat-ayat Tuhan dan tak pernah lupa melaksanakan shalat, bahkan tiap malam Kiran tak pernah lalai berdiri melaksanakan tahajud. Namun segudang masalah yang menimpanya mendadak mengubah kehidupan Kiran. Ia dengan sikap kritis dan kecerdasannya terang-terangan menentang Tuhan yang sebelumnya begitu ia puja. Kiran mendadak memutuskan melacurkan hidupnya dan bahkan salah seorang dosennya sendiri menjadi germonya. Ia dengan segala kekecewaan dan amarah pada Tuhannya berusaha melawan arus ajaran yang diyakini dan pernah diperjuangkannya.
              Saya pribadi menilai Kiran sebagai kolaborasi sempurna dari kecantikan, kecerdasan, kekritisan, kemandirian, keberanian, kepercaya dirian yang tinggi, hingga kegagalan mengeja nama Tuhannya. Kiran adalah wujud seorang perempuan yang keliru pada Tuhannya. Saya memaknai Kiran sebagai representasi manusia pada umumnya (manusia sebagai makhluk paling munafik), yang begitu gigih mempertahankan keyakinan dan tak putus-putusnya menyembah Tuhan. Namun, pernahkan terlintas dalam benak kita sebagai manusia, siapa sebenarnya yang sedang kita sembah? Tuhan yang bagaimana yang terus menerus kita puja? Jangan-jangan sosok Kiran dalam novel tersebut adalah diri kita sendiri? Jangan-jangan kita adalah Kiran yang tidak sadar bahwa selama ini menyembah Tuhan hanya dalam wujud kata-kata “Alif-Lam-Lam-Ha (الله)”. Jangan-jangan kita hanya membaca tulisan kitab suci tanpa pernah meyakini kebenaran isinya? Jangan-jangan .. dan masih banyak jangan-jangan.
              Pepatah lama mengatakan “semakin tinggi pohon, semakin banyak angin yang menerpa”. Kiran sendiri adalah pohon yang tumbang oleh angin. Ia tak kuat menahan kencangnya tiupan angin. Akar-akarnya tercerabut ketika keyakinannya diuji. Kiran memilih tumbang, memilih tidak lulus dalam ujian. Lantas dengan segala egonya ia menyalahkan Tuhan yang telah menciptakan hidupnya menjadi demikian, menyalahkan Tuhan yang ia sebut sedang bermain-main dengan hidupnya. Maka ia pun menentang dan tak ingin tunduk.
              Jika dianalogikan lewat penalaran saya yang sederhana ini, Kiran diibaratkan seorang anak yang merengek minta perhatian pada orang tuanya (Tuhan). Ia mendapat tekanan dari banyak pihak, tak kuat menghadang terpaan angin. Lalu melakukan hal-hal yang dilarang orang tuanya semata-mata ingin menarik perhatian orang tua agar ia ditolong, agar masalahnya selesai. Namun ia merasa tak kunjung mendapat perhatian. Keimanannya ternyata begitu rapuh lantas memilih mengkambing hitamkan Tuhan sebagai penyebab segalanya. Ia menghabiskan waktu membaca firman Tuhannya tapi gagal memahami salah satu firman itu, bahwa sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan (Q.S Asy-Sarh: 5-6).
              Saya tidak sedang menghakimi siapapun, saya pula tidak sedang membela siapapun. Hanya saja ketika membaca sosok Kiran, saya pribadi menyimpulkan bahwa ia adalah wujud manusia-manusia yang tidak sabar menghadapi persoalan kehidupan dan memilih menyudutkan pihak lain atas masalah yang menimpanya. Kiran menunjukkan ketidak matangan keimanan yang dimilikinya. Ia mencoba menafsirkan, bahkan melawan kontrol Tuhan atas dirinya dengan logikanya sendiri. Bukankah manusia memang suka begitu?
              Sejujurnya saya kurang setuju pada pembaca yang menghina karya ini. Justru saya menganjurkan novel ini untuk dibaca banyak orang. Mengapa? Sebab sejatinya tidak ada buku yang salah. Kesalahan terdapat pada pembaca yang tidak hati-hati menafsirkan sesuatu. Perlu diingat bahwa tidak segala yang tertulis dalam buku harus kita benarkan. Tidak semua yang tertulis dalam buku harus kita lakukan. Tentu ada hal-hal yang patut dipertimbangkan. Betapa dangkalnya iman seseorang jika ternyata berhasil dimanipulasi oleh isi buku ini. Betapa tumpulnya logika seseorang jika langsung saja menghakimi karya ini sebagai sampah. Padahal, jika menelisik lebih jauh dari berbagai sudut pandang, karya ini justru berusaha memperlihatkan salah satu kekuasaan Tuhan yang sanggup membolak balikan hati manusia. Banyak misteri yang menarik dipecahkan dalam novel ini.
              Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur bukanlah novel yang menyesatkan. Tidak sama sekali. Pembaca boleh saja terguncang dengan isinya, namun jangan sampai tergeser, apalagi sampai hancur akidahnya. Pembaca hanya dituntut untuk lebih teliti memaknai novel ini. Justru lewat novel ini, Muhidin M. Dahlan entah secara sadar atau tidak, berhasil menunjukkan bukti kekuasaan Tuhan, bahwa Dia selamanya adalah Zat yang mampu membolak-balikan hati seorang insan, termasuk Kiran.

Jumat, 09 Februari 2018

Ulasan Buku #1

MITOS KECANTIKAN 

Penulis: Naomi Wolf 
Penerjemah: Alia Swastika
Penerbit: Niagara 
Pengulas: Jein Palilati aka @KekinSmileAgain


Sebuah obsesi tentang kesempurnaan fisik yang memenjarakan perempuan modern dalam lingkaran harapan, kesadaran, dan kebencian diri yang tak berujung ketika ia berusaha mengisi definisi masyarakat tentang kecantikan sempurna yang tak mungkin diwujudkan. 

"Kecantikan ideal dianggap ideal karena kecantikan itu tdk pernah ada." (Halaman 344)

Kala kecantikan menindas perempuan, mereka akhirnya berubah menjadi sosok tolol yang mengejar kecantikan (fisikal). Mereka tidak pernah menyadari bahwa satu abad yang lalu, mitos kecantikan pernah membunuh intelegensi perempuan.

Mitos kecantikan membuat pernyataan bahwa: jika seorang perempuan terlalu banyak membaca, rahimnya akan menderita atrophy, sistem reproduksinya akan rusak. Kemudian, ketika perempuan terjerumus ke dalam mitos semacam itu, mereka akhirnya meninggalkan toko buku dan memilih antre di salon-salon kecantikan.
Hanya segelintir perempuan yang tumbuh dengan keyakinan bahwa kecantikan tak hanya sekadar hal visual. Lebih jauh dari itu, seorang perempuan perlu belajar bahwa keberanian intelektualnya dapat membawa kematian bagi mitos kecantikan fisikal. Perempuan modern wajib melawan mitos kecantikan yang telah memenjarakan perempuan dan menyadari bahwa mereka bisa menjadi lebih menarik dengan cara yang berbeda.


PS: Buku ini pernah diulas oleh Jein Palilati (@KekinSmileAgain) di Instagram @pecandubuku