EKOLOGI SASTRA
Oleh
Jein Palilati
Lingkungan memang menjadi bagian yang
menarik untuk dimaknai kehadirannya dalam karya sastra. Istilah singkatnya
ialah sastra tak pernah lepas dari lingkungan. Sastra dan lingkungan menjadi
dua bagian yang tak terpisahkan. Sebagai contoh ketika Seno Gumira Ajidarma
menulis cerpen berjudul “Telinga”, tentunya sangat penting untuk memahami
konflik peperangan yang terjadi di Indonesia bagian Timur. Dengan demikian
karya sastra itu merupakan refleksi dari kehidupan sekitar yang diamati oleh
pengarang.
Lingkungan
adalah poin penting yang dapat memengaruhi karya sastra. Lingkungan yang
mengelilingi sastrawan jelas menjadi tumpuan imajinatifnya. Sastrawan bebas
menghadirkan fenomena lingkungan dalam karyanya. Pada saat lingkungan sedang
mengalami kerusakan, kebakaran hutan, lingkungan diterjang banjir, lingkungan diselimuti
lahar dingin, lingkungan yang kumuh, dan lain sebagainya seringkali memicu
lahirnya karya sastra yang memuat persoalan demikian. Dengan kata lain, sastra
seringkali hadir mengikuti suara lingkungan. Atas dasar ini, diperlukan sebuah
perspektif memahami sastra dengan melihat fenomena-fenomena yang dialami
lingkungan dalam karya sastra.
Sastra membutuhkan
sebuah penafsiran melalui kacamata lingkungan. Melalui kacamata lingkungan,
seorang peneliti sastra dapat membaca, menyelidiki, memahami berbagai krisis
lingkungan yang diangkat dalam karya sastra. Bahkan tidak menutup kemungkinan
dapat membawa peneliti sastra untuk lebih menghargai dan melestarikan
lingkungan sekitarnya. Masalah lingkungan hidup yang direpresentasikan dalam
karya sastra dapat dibedah menggunakan pisau ekologi sastra.
Ekologi sastra merupakan
sebuah disiplin ilmu yang lahir melalui persilangan antara ilmu ekologi dan
ilmu sastra. Ekologi sastra tergolong sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih
sangat muda, karena ekologi sastra lahir paling akhir dibandingkan dengan
disiplin ilmu yang lain pada akhir abad ke 20. Menurut Endraswara (2016:
49) ekologi sastra merupakan sebuah
disiplin ilmu sastra yang mulai digalakkan pada tahun 1990-an, meskipun akarnya
mulai 1970-an. Setya Yuwana Sudikan dalam kata pengantar bukunya yang berjudul
“Ekologi Sastra” menjelaskan bahwa di Indonesia ekologi sastra baru dikenal
pada awal abad 21 (Sudikan, 2016: x). Sebetulnya ihwal ekologi sastra sudah ada
sejak Plato menerangkan bahwa karya sastra itu semakin dekat dengan alam maka
akan semakin menarik. Namun pernyataan Plato ditentang oleh Aristoteles.
Menurut Aristoteles (dalam Endraswara 2016: 36), semakin jauh dari realitas
alam, sastra itu semakin bagus. Hemat
penulis menarik simpulan dari beberapa pendapat tersebut bahwa ekologi sastra
sejatinya sudah mulai diarencanakan kelahirannya oleh Plato, namun dikarenakan
pendapatnya ditentang oleh Aristoteles, maka ihwal kelahiran ekologi sastra pun
menjadi tertunda. Kemudian pada abad ke 20 ekologi sastra benar-benar
diwujudkan menjadi sebuah disiplin ilmu dalam sastra oleh para peneliti sastra
yang peduli pada persoalan lingkungan.
Ekologi sastra adalah
studi tentang hubungan antara karya sastra dan lingkungan hidup yang diangkat
dalam karya tersebut. Sejalan dengan Endraswara (2016: 17-18) bahwa ekologi
sastra adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam
perspektif sastra. Dengan kajian ekologi sastra, akan dapat terungkap bagaimana
peran sastra dalam memanusiakan lingkungan. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa kehadiran ekologi sastra bertujuan untuk menunjukkan kepedulian sastra
terhadap lingkungan hidup, serta berperan untuk memecahkan masalah ekologi yang
direfleksikan dalam karya sastra.
Teori-teori dalam
kajian ekologi sastra di antaranya ekofeminsme, ekoantropologi sastra, etnoekologi
sastra, dan ekokritik sastra. Ekofeminsme merupakan cabang dari ekologi sastra
yang tentu saja berkaitan dengan permasalahan perempuan dan lingkungan hidup,
yakni permasalahan lingkungan dan ketidak adilan gender. Sudikan (2016: 152)
menjelaskan bahwa para ekofeminis sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan
dan perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan dan lingkungan
melainkan melihat budaya perempuan yang dekat dengan alam sebaga budaya yang
lebih baik dari budaya laki-laki. Maksudnya ialah model lingkungan hidup yang
mengadopsi nilai-nilai feminis akan lebih baik bagi sistem lingkungan hidup.
Ekoantropologi sastra
adalah sebuah teori yang menggabungkan antara ekologi, budaya, dan sastra dalam
fokus penelitiannya. Penelitian ekoantropologi sastra akan membuka wawasan
sastra interdisipliner. Sastra dapat memuat refleksi lingkungan dan budaya di
sekitar pengarangnya. Menurut Endraswara (2016: 6) manusia, sastra, dan
lingkungan selalu terkait, sulit dipisahkan. Namun ketika ekologi itu dititik
beratkan aspek budayanya, lebih bagus melalui antropologi sastra. Ketiganya
saling mengisi satu sama lain.
Etnoekologi sastra
merupakan teori sastra yang berupaya memahami lingkungan suatu etnis yang
terdapat dalam sastra. Etnoekologi sastra membutuhkan pemahaman etnis tertentu
yang diangkat dalam sastra dan juga membutuhkan penguasaan ekologi terhadap
suatu etnis. Hal ini sejalan dengan pendapat Endraswara (2016: 94) bahwa
etnoekologi sastra adalah kajian yang berupaya melukiskan lingkungan sebagaimana
lingkungan tersebut dipahami oleh masyarakat suatu etnis. Sebab lingkungan alam
yang secara objektif sama dapat dilihat dan disiasati berbeda oleh masyarakat
etnis yang berbeda latar belakang sosial dan kebudayaannya.
Ekokritik sastra
merupakan sebuah bentuk dan ekspresi penilaian sastra berwawasan lingkungan. Ekokritik
sastra dapat menyalurkan tanggapan manusia terhadap lingkungannya. Endraswara
(2016: 34) menjelaskan bahwa tugas penelitian ekokritik sastra adalah membongkar
makna lingkungan dalam sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Glotfelty dan
Fromm (dalam Sudikan 2016: 9) bahwa ekokritik bertujuan untuk mengaplikasikan
konsep ekologi ke dalam sastra.
Kesadaran manusia
terhadap lingkungan amatlah penting. Adanya kesadaran dan kepekaan terhadap
lingkungan, maka manusia tidak akan mengeksploitasinya dengan semena-mena.
Karya sastra yang menghadirkan unsur ekologi di dalamnya dapat memberi
kesadaran tentang lingkungan yang dapat dibaca semua pihak dengan bahasa indah
dan lebih akrab dengan pembacanya. Manusia sebagai pemakai lingkungan dan
sebagai satu-satunya makhluk yang diberi kelebihan dengan akalnya harus bisa
memberi kontribusi agar lingkungan yang sehat dapat dipakai selamanya. Oleh
sebab itu, ekologi sastra dihadirkan sebagai sebuah bentuk perhatian para
peneliti sastra dan peneliti lingkungan terhadap lingkungan hidup. Hemat
penulis bahwa ekologi sastra sendiri merupakan bentuk propaganda pelestarian
lingkungan melalui karya sastra. Ia hadir sebagai kritik terhadap manusia yang
sering menganggap bahwa lingkungan hanyalah benda mati sehingga seringkali
manusia secara sembarangan mengeksploitasi lingkungan.
Kehadiran ekologi
sastra merupakan konsekuensi yang logis dari keberadaan makhluk hidup dan
kondisi lingkungan yang makin hari makin membutuhkan perhatian. Ekologi sastra
membantu menyadarkan manusia tentang pentingnya pelestarian lingkungan, bahwa
lingkungan yang ditempati oleh manusia saat ini perlu diwariskan pada generasi
berikutnya. Oleh sebab itu, seorang peneliti ekologi sastra diharapkan tidak
hanya mampu menerapkan teori ini dalam sebuah penelitian sastra, melainkan
dapat pula mengaplikasikannya bagi keselamatan lingkungan sekitarnya. Seorang
peneliti sastra perlu membangun kesadaran terhadap kondisi apapun yang terjadi
pada lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian
Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapan. Yogyakarta: CAPS.
Endraswara, Suwardi. 2016. Sastra Ekologis. Yogyakarta: CAPS.
Sudikan, Setya Yuwana. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang.